Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Proses penjualan dan pembelian properti biasanya akan melibatkan beberapa dokumen penting yang menunjukkan sah atau tidaknya kepemilikan properti secara hukum dan memastikan tidak ada sengketa di dalamnya. Selain memastikan legalitas developer dengan segala bentuk perizinannya, memeriksa sertifikat yang dimiliki, setoran pajak, dan legalitas lainnya, ada yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan sebelum melakukan jual beli, yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) yang dilakukan di hadapan notaris untuk memastikan penjualan dan menghindari penipuan serta kerugian bagi salah satu pihak. Biasanya, isinya memuat bahwa transaksi yang dilakukan bebas dari sengketa hukum, mengatur tanggal pembayaran termasuk namun tidak terbatas pada cicilan, tanggal peralihan, sanksi jika gagal bayar atau lalai dan minimal 2 orang saksi masing-masing dari para pihak.

Kemudian, dilanjutkan dengan Akta Jual Beli (“AJB”), yang memuat pengalihan hak dari penjual kepada pembeli setelah kedua belah pihak membayar segala kewajiban yang timbul akibat transaksi jual beli tersebut. Selanjutnya properti tersebut didaftarkan untuk balik nama dari si penjual kepada si pembeli sehingga perubahan sertifikat pun terjadi atas nama pembeli.

Fungsi dari PPJB dan AJB adalah sebagai bukti transaksi jual beli properti dengan kesepakatan harga dan segala ketentuannya. Serta memastikan kedua belah pihak memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dan menjadi bukti apabila di kemudian hari salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya atau melakukan perbuatan yang tidak disepakati.

Dalam Pasal 1 angka 10 PP 12/2021 disebutkan bahwa sistem PPJB adalah rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam PPJB sebelum ditandatangani AJB.

Oleh karena itu, PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dengan pembeli untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun (sarusun) yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dibuat dihadapan notaris.

 

Selanjutnya, Pasal 22J PP 12/2021 menyatakan bahwa PPJB paling sedikit memuat ketentuan-ketentuan berikut :

  1. Identitas para pihak;
  2. Uraian objek PPJB;
  3. Harga rumah dan tata cara pembayaran;
  4. Jaminan pelaku pembangunan;
  5. Hak dan kewajiban para pihak;
  6. Waktu serah terima bangunan;
  7. Pemeliharaan bangunan;
  8. Penggunaan bangunan;
  9. Pengalihan hak;
  10. Pembatalan dan berakhirnya PPJB; dan
  11. Penyelesaian sengketa.

Di dalam PPJB harus mengatur mengenai jangka waktu serah terima bangunan dan pengalihan hak atas sarusun, sehingga perlu dilakukan pengecekan kembali atas PPJB yang telah ditandatangani apakah dalam PPJB tersebut telah diatur mengenai penandatanganan AJB dan serah terima bangunan dan juga penyerahan SHM atau SKBG atau tidak.

 

Masa Transisi dalam Jual Beli Sarusun

Terdapat pertanyaan mengenai bisakah developer atau pengelola apartemen diberikan sanksi hukum karena meminta tagihan Iuran Pengelolaan Lingkungan (“IPL”) kepada pemilik unit satuan rumah susun (apartemen) mengingat AJB dan SHM yang belum terbit? Apakah pemilik berhak menolak membayar tagihan IPL tersebut? Dan dapatkah PP 13/2021menggugurkan kewajiban membayar IPL tersebut?

Perlu diketahui dalam praktik yang dimaksud dengan IPL adalah Iuran Pengelolaan Lingkungan, yang secara hukum merujuk kepada biaya pengelolaan yang berhak diterima oleh pengelola sarusun dalam Pasal 57 ayat (1) UU 20/2011.

Perlu diperhatikan, dalam Pasal 59 UU 20/2011 disebutkan bahwa:

  1. Pelaku pembangunan yang membangun rumah susun umum milik dan rumah susun komersial dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS wajib mengelola rumah susun.
  2. Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali sarusun kepada pemilik.
  3. Pelaku pembangunan dalam pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pengelola.
  4. Besarnya biaya pengelolaan rumah susun pada masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh pelaku pembangunan dan pemilik sarusun berdasarkan NPP setiap sarusun.

Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 82 PP 13/2021 yang berbunyi:

  1. Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS wajib mengelola Rumah Susun.
  2. Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali Sarusun kepada Pemilik.
  3. Pelaku Pembangunan dalam mengelola Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Hukum di bidang pengelolaan Rumah Susun.
  4. Biaya pengelolaan Rumah Susun pada masa transisi ditanggung oleh Pelaku Pembangunan dan Pemilik berdasarkan NPP setiap Sarusun.
  5. Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan kepemilikan:
    1. akta jual beli; dan
    2. SHM Sarusun atau SKBG Sarusun.
  6. Dalam hal Pemilik belum memiliki bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), biaya pengelolaan Rumah Susun ditanggung oleh Pelaku Pembangunan.

Berdasarkan kedua pasal di atas, pengelolaan apartemen dilakukan secara sementara selama masa transisi yang ditentukan selama 1 tahun setelah penyerahan unit sarusun kepada pemilik dan biaya pengelolaan selama masa transisi tersebut ditanggung oleh pelaku pembangunan dan pemilik yang perhitungannya berdasarkan nilai perbandingan proporsional (NPP) sarusun.

Kemudian, apabila perhimpunan pemilik dan penghuni sarusun (PPPSRS) terbentuk, penetapan nilai IPL ditentukan melalui perhitungan yang disepakati pemilik melalui PPPSRS.

PPPSRS bertanggung jawab untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan penghunian yang dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS.

Lebih lanjut, dalam Pasal 83 ayat (1) PP 13/2021 diatur bahwa pada masa transisi pelaku pembangunan wajib:

  1. Menjadi pengelola sementara;
  2. Menyampaikan salinan Pertelaan dan NPP kepada pemilik;
  3. Menyiapkan dokumen untuk diserahkan kepada panitia musyawarah pembentukan PPPSRS yaitu:
  • Salinan gambar terbangun;
  • Salinan persetujuan bangunan gedung (PBG) dan/atau perubahan PBG;
  • Salinan sertifikat laik fungsi;
  • Salinan akta jual beli;
  • Dokumen pertelaan meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama;
  • Akta pemisahan yang telah disahkan;
  • Salinan sertifikat tanah bersama atau salinan surat perjanjian sewa atas tanah;
  • Daftar pemilik;
  • Tata tertib sementara penghunian.

4. Memfasilitasi terbentuknya PPPSRS bekerjasama dengan panitia musyawarah.

Dengan demikian,selama masa transisi dalam satu tahun developer wajib menyelesaikan kewajiban-kewajiban tersebut.

PP 13/2021 tidak dapat menggugurkan ketentuan pembayaran IPL, sebab apa yang diperjanjikan dalam PPJB tersebut sah sepanjang para pihak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang ditentukan dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sun servanda).

 

Penyelesaian Sengketa

pertama, pentingnya perlindungan hukum terhadap pemilik atas pengelolaan IPL apartemen oleh developer yang melewati batas masa transisi. Jika ditinjau dari UU 20/2011 dan PP 13/2021, developer belum menunaikan kewajibannya selama masa transisi, dan pemilik dapat meminta pertanggungjawaban secara profesional dari developer.

Kedua, perlu diketahui apa penyebab developer belum memberikan AJB? Kemudian apakah pihak developer telah mengurus dokumen pertelaan, melakukan akta pemisahan, dan perolehan sertifikat laik fungsi? Sebab, hal-hal tersebut juga wajib disiapkan oleh developer dalam masa transisi sebagaimana dijelaskan di atas.

Adapun jika developer menolak untuk bertanggung jawab, tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik atas tagihan IPL apartemen yang melewati batas masa transisi termasuk apabila developer yang mengelola apartemen memutuskan aliran listrik dan air ke unit apartemen, dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UU Perlindungan Konsumen.

Pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan:

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumendan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Artinya, dapat dilakukan secara litigasi dan non-litigasi. Cara litigasi yaitu melakukan penuntutan gugatan melalui peradilan umum, sedangkan non-litigasi yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/a/kewajiban-developer-apartemen-dalam-masa-transisi-lt611f06e06cf3b