14 Juli 2023

Kedudukan Visum et Repertum Dalam Sistem Pembuktian Pidana

Korban KDRT umumnya mengalami penganiayaan yang dikategorikan berat dan ringan. Namun semuanya itu dapat dibuktikan dalam hasil VeR sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP Penganiayaan yang ditemukan dalam kasus KDRT diatur dalam Bab XX dalam Pasal 351- 358. Mengenai penanganan kasus penganiayaan sudah merupakan tugas dan wewenang dari Penyelidik dalam hal ini Kepolisian untuk menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Berat atau ringannya suatu perkara pada dasarnya tidak dapat menjadi alasan untuk menindaklanjuti perkara tersebut atau tidak.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004) menjelaskan, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga”. Pasal 6 UU No. 23/2004 menjelaskan lebih lanjut kekerasan secara fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Adapun ketentuan pidana terhadap KDRT juga diatur dalam Pasal 44 UU No. 23/2004.

1. VeR Sebagai Alat Bukti Dan Dasar Laporan Tindak Pidana

Pembuktian terhadap kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“KDRT”) dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilakukan dengan mendengarkan keterangan saksi korban atau ditambah dengan alat bukti yang lain. Salah satu cara untuk dapat membuktikan tindak pidana KDRT ini adalah dengan menggunakan Visum et Repertum (“VeR”).

VeR merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Meskipun VeR ini tidak diatur secara khusus dalam KUHAP namun VeR ini termasuk dalam kategori alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Pembuatan VeR disertai dengan permintaan tertulis dari Penyidik berupa Surat Permohonan Visum (“SPV”) serendah-rendahnya pembantu Letnan Dua sesuai dengan Pasal 133 Ayat (1) KUHAP, VeR yang dibuat dapat dijadikan salah satu alat bukti yang sah di pengadilan.

Dengan adanya SPV yang dibuat oleh Penyidik maka dokter berkewajiban memberikan keterangan ahli sesuai dengan Pasal 179 Ayat (1) KUHAP yaitu, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan”. Hasil pemeriksaan ini tertuang dalam VeR yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.

Pasal 184 Ayat (1) huruf c KUHAP mengatur bahwa alat bukti yang sah adalah salah satunya surat dan dalam hal ini yakni VeR yang berkedudukan sebagai alat bukti surat yang diakui sekaligus keterangan ahli. Pasal 187 huruf c KUHAP juga menyebutkan bahwa salah satu surat yang diakui sebagai alat bukti adalah surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

Pasal 1 angka 28 KUHAP memberikan defenisi bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dengan demikian VeR adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau yang meninggal dunia (mayat). Penyidik Polri dalam tugasnya selaku penyidik mengandalkan tugasnya berdasar atas VeR bahwa benar korban telah menjadi korban KDRT. Keterangan ini menjadi alat bukti yang sah untuk menyatakan kebenaran bahwa pelaku benar-benar secara sah menurut hukum telah melakukan kekerasan dengan akibat korban mengalami kekerasan fisik dan psikis.

2. Pemeriksaan Saksi Ahli Untuk Assessment Kejiwaan

Untuk menambah alat bukti dan memperkuat penyidikan, penegak hukum dapat meminta ahli (Psikiater/Psikolog) untuk dimintai pendapatnya mengenai kekerasan psikis yang juga dialami korban selain daripada kekerasan fisik. Melalui hasil pemeriksaan Dokter terhadap korban yang dituangkan dalam bentuk VeR, maka Penuntut Umum dapat lebih mempertajam tuntutannya serta menerapkan pasal-pasal terutama dalam peristiwa pidana yang dilakukan dengan kekerasan psikis, bahkan Jaksa selaku Penuntut Umum maupun Hakim setelah mempelajari isi dari VeR dapat membayangkan bagaimana keadaan barang bukti bagaimana saat terjadinya peristiwa pidana tersebut, sehingga penting bagi Penyidik Polri maupun Jaksa Penuntut Umum harus mempersiapkan VeR dalam bentuk Visum et Repertum Psikiatrik juga.

3. Masa Berlaku VeR

Dalam ranah medis, VeR kekerasan sejatinya berlaku saat itu juga, yakni saat pemeriksaan dilakukan. Akan tetapi, jika memang tindak kekerasan telah dialami beberapa tahun yang lalu, tentu tidak relevan jika VeR baru dilakukan saat ini. Jadi, VeR yang pernah dilakukan sebelumnya tetap bisa disertakan dalam laporan ke aparat penegak hukum. Nantinya, aparatlah yang berhak memutuskan apakah VeR cukup dijadikan sebagai alat bukti ataukah perlu prosedur lainnya. Namun, jika VeR disertai dengan kebutuhan keterangan ahli dalam persidangan maka VeR yang telah dibuat sebelumnya dapat tetap berjalan sepanjang tidak terdapat rentang waktu yang cukup lama antara kejadian dan pemeriksaan VeR.

VeR memiliki kedudukan yang penting dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia. VeR dapat berfungsi sebagai bukti fisik yang mendukung atau menguatkan fakta-fakta yang diajukan oleh pihak penuntut atau terdakwa dalam persidangan. Pemeriksaan medis atau forensik yang dilakukan dalam VeR dapat memberikan informasi tentang cedera atau kerusakan fisik, penyebab kematian, atau jejak-jejak kejahatan tertentu yang terkait dengan kasus pidana.

Dalam praktiknya, penggunaan VeR dalam persidangan pidana harus memperhatikan prinsip-prinsip umum pembuktian, termasuk prinsip kepastian hukum, prinsip kebebasan hakim untuk menilai bukti, serta prinsip persamaan kedudukan antara penuntut umum dan terdakwa. Keabsahan dan kekuatan bukti dari VeR akan ditentukan oleh hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang relevan dengan kasus yang sedang diajukan.

Untuk informasi lebih lanjut
Oleh Managing Partner Nia Sita Mahesa (nia.mahesa@nmcolaw.co.id) dan Associate Mipa Sere S Sitohang (mipa.sitohang@nmcolaw.co.id).

Tentang NMCo Insight News
NMCo Insight News ini adalah publikasi digital yang disiapkan oleh firma hukum Indonesia, Nia Mahesa & Co. dan isinya dimaksudkan semata-mata untuk memberikan gambaran umum, untuk tujuan informasi, perkembangan terkini yang dipilih dalam hukum Indonesia. Publikasi ini bukan merupakan nasihat hukum dan tidak boleh diandalkan seperti itu. Oleh karena itu, NMCo. tidak menerima tanggung jawab apa pun sehubungan dengan pernyataan, pendapat, pandangan, kesalahan, atau kelalaian apa pun yang mungkin terkandung dalam pembaruan hukum ini. Dalam segala situasi, Anda sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan praktisi hukum Indonesia berlisensi sebelum mengambil tindakan apa pun yang dapat merugikan hak dan kewajiban Anda berdasarkan hukum Indonesia. Jika Anda memiliki pertanyaan atau masalah apa pun yang terkandung dalam NMCo Advisory, atau komentar lain secara umum, silakan hubungi kami melalui email yang disediakan di bagian akhir artikel ini.

Referensi
1. KUHPidana
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana